Monday, March 14, 2011

Wajah yang tak dapat dipercaya?!



Seringkali saya mendapat pertanyaan, adakah cara mengetahui apa seseorang layak dipercaya atau tidak melalui tampangnya. Biasanya pertanyaannya muncul dari seorang yang penasaran apakah pacarnya bisa diajak untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi, calon klien dari penasihat keuangan, atau seorang yang mengurusi bagian personalia di sebuah perusahaan. Sungguh, pertanyaan tersebut kedengaran sangat bernuansa prejudice, karena karakter tentulah tak mesti bisa dikaitkan dengan penampakan (appearance) seseorang. Seorang pendukung 'kehendak bebas' (free will) akan ber-argumen bahwa itu sungguh memberikan perangkap genetika pada tipikalitas cara seorang individu ber-sosialisasi.  Soal cantik atau jelek tentu bisa tercermin dari proporsi wajah, tapi karakter dan kecenderungan untuk menjadi subyek kebohongan?


Beberapa studi baru-baru ini [1] menunjukkan, se-berapa tak etispun pertanyaan tersebut, sepertinya ada kaitan antara bentuk wajah seseorang dengan kelayakan seseorang untuk dipercaya atau tidak.

  • Lelaki yang cenderung  berwajah simetris jelas lebih menarik daripada yang tidak simetris, dan wajah yang lebih menarik memiliki kecenderungan untuk lebih mudah dipercaya oleh orang lain. 
  • Namun wajah maskulin yang cenderung lebih lebar, lebih kurang bisa dipercaya daripada mereka yang berwajah yang lebih sempit. 

Studi ini menunjukkan bahwa lelaki yang berwajah lebar kurang bisa dipercaya karena kelebaran wajah dalam beberapa hal terkait dengan level hormon testosteron seseorang. Testosteron yang tinggi meng-aksentuasi kelebaran wajah seorang laki-laki dan secara karakter meningkatkan kecenderungan perilaku agresif dalam interaksi sosial yang berkaitan dengan kapasitasnya untuk berbohong: lelaki dengan wajah lebar dan hipermaskulin lebih punya kecenderungan untuk mengkhianati kepercayaan pasangannya.

Sebuah penelitian sebelumnya [2] melakukan survey tentang wajah yang bisa dipercaya oleh orang lain dengan memperhatikan respon aktivitas amygdala (bagian otak yang bertanggung jawab atas beberapa aspek emosional) atas beberapa sampel. Terdapat kecenderungan bahwa mereka yang memiliki wajah yang lebih penuh dengan garis rahang yang lebih kurang menonjol, bulu mata lebih kurang menonjol, mata yang lebih lebar atau membulat dan terlihat lebih terang, lubang hidung lebih kecil, mulut lebar dan lebih tipis, wajah tanpa rambut wajah yang menonjol, dan wajah yang umumnya cenderung lebih cerah.

Foto wajah asli (kiri) dan foto rekayasa (kanan) dengan menggunakan komputer sehingga menonjolkan karakter sulit untuk dipercaya.
Sementara yang kurang bisa dipercaya memiliki karakteristik bentuk wajah yang lebih membulat dan lebar, rahang yang lebih tegas dan menonjol (>20%), alis yang cenderung lebih tebal (>25%), mata yang kurang membundar, lebih lebar, dan agak lebih menutup dengan jarak antar mata yang cenderung lebih jauh serta memancarkan pandangan yang lebih gelap, tulang hidung atas yang lebih menonjol dan lubang hidung lebih lebar, mulut lebih kecil dengan bibir yang lebih penuh, dan penonjolan beberapa rambut di wajah.

Secara umum, pada dasarnya wajah yang lebih meng-ekspresi-kan "rasa marah" lebih kurang dipercaya daripada wajah yang cenderung menampilkan "emosi senang". Emosi positif cenderung memberikan impresi positif pula bagi orang yang berhadapan dengan orang tersebut. Hal ini pada dasarnya terkait dengan pemrosesan cermin (mirror processing) yang terdapat dalam sistem kognitif kita.

Namun tentu saja penemuan ini juga memiliki beberapa kelemahan. Beberapa di antaranya adalah sampel responden untuk disurvey juga tidak bisa secara mutlak diterima sebagai representasi dari seluruh manusia yang memiliki perbedaan ras, etnik, dan berbagai latar belakang psikologis sebagai persepsi atas manusia. Di sisi lain, berbagai proses rekayasa wajah, mulai dari dandanan hingga bedah plastik yang saat ini marak, juga akan sangat mempengaruhi hasil presentasi penelitian ini. Namun sedikit banyak, ini memberikan gambaran bahwa pada dasarnya terdapat kualitas-kualitas terkait karakterisasi manusia yang tercermin dari wajah seorang manusia.


[1] Stirrat, M, Perrett, D I. (2010). "Valid facial cues to cooperation and trust: Male facial width and trustworthiness". Psychological Science 21(3) 349-354.
[2] Todorov, A., Baron, S. G., Oosterho., N. N. (2008). "Evaluating face trustworthiness: a model based approach". Social Cognitive and Affective Neuroscience 3(2): 119-27. Oxford UP.