Wednesday, February 9, 2011

Ekspresi Kekerasan Terencana 6 Februari 2011


Tubuh kita tidak di-desain untuk berbohong dan menyembunyikan niat yang ada di pikiran. Seseorang pada dasarnya tidak dapat menyembunyikan amarah, kekesalan, ataupun emosi-emosi positif seperti kegembiraan, dan sebagainya. Adakah tanda-tanda yang dapat dibaca dari seseorang yang memiliki rencana sebelumnya? Berbagai pendekatan terkait ilmu-ilmu perilaku telah banyak membantu intelijen dan kepolisian di banyak negara maju terkait hal ini. Beberapa hal terkait ini akan kita coba gunakan dalam analisis terhadap video yang beredar luas penyerangan brutal massa pada insiden di Cikeusik 6 Februari 2011 yang lalu.


Pada hari minggu, 6 Februari 2011 yang lalu, sekelompok massa (sekitar 500-an orang) diberitakan melakukan penyerangan ke lokasi jemaah Ahmadiyah, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Sebagaimana ramai diberitakan oleh media,kelompok massa tersebut melakukan penyerangan terhadap rumah penduduk yang diketahui merupakan anggota jemaah Ahmadiyah dengan melempari dan membakari properti milik jemaah Ahmadiyah tersebut. Dalam aksi massa tersebut, jatuh korban tewas dan luka-luka yang dipukuli oleh massa yang mengamuk. Beberapa jam kemudian, di internet beredar luas video aksi yang penuh sadisme tersebut, massa yang memukuli dengan tanpa ampun. Ini tentu merupakan keberingasan yang tidak bisa ditolerir oleh siapapun yang memiliki rasa dan nilai kemanusiaan.

Aksi massa yang penuh sadisme dalam video yang beredar luas ini, belakangan dikaitkan dengan aksi-aksi yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) dan antipati organisasi massa ini terhadap jemaah Ahmadiyah. Hal ini menjadi sebuah diskursus politik yang ramai. Namun terlepas dari diskusi politik yang melatarbelakangi dan kemudian menyusul kejadian ini, kita dapat mempelajari beberapa hal terkait ikhwal ekspresi manusia menjelang kekerasan yang direncanakan.

Sesaat sebelum kekerasan, pelaku biasanya dipenuhi dengan amarah dan kebencian, sehingga sistem pengenalan atas wajah (face action coding system) sebenarnya dapat mendeteksi pelakunya dengan mudah. Dalam caption video yang beredar dapat dilihat ekspresi bahasa tubuh amuk dan marah yang jelas terlihat dari barisan paling depan massa yang mengamuk tersebut.

Pada potongan video di bawah ini, berfokus pada salah seorang pelaku tindakan kekerasan yang terjadi. Di perjalanan, tangan yang bersangkutan dimasukkan ke dalam sakunya dan kemudian dikeluarkan lagi yang merupakan salah satu gestur tubuh saat bisa jadi "usaha" menenangkan diri, seolah-olah membenarkan sesuatu yang ada di sakunya, dalam perjalanan yang sudah hingar bingar dengan teriakan “allahu akbar” yang memanaskan situasi tersebut.

 Perubahan tangan dari salah seorang pelaku kekerasan yang dimasukkan dan dikeluarkan lagi ke dalam saku begitu memasuki kawasan tempat tingal jemaah Ahmadiyah yang bisa jadi menunjukkan kondisi emosionalnya

Bisa juga ia sebenarnya tak berniat hendak memasukkan tangan ke saku, tapi ada suatu kesiagaan pada perasaan hatinya tatkala memasuki lokasi kejadian. Namun kita mengetahui, bahwa sesuai bawaan evolusi, amarah yang memuncak akan menyebabkan darah mengalir dengan cepat ke alat gerak atas kita (tangan) sehingga suhunya meninggi. Ia memasukkan lalu mengeluarkan tangannya lagi menandakan emosinya amarahnya sudah mencapai level aktivasi yang relatif tinggi. 


Ia berusaha menenangkan dirinya dengan meneriakkan "kafir" di tengah teriakan massa “allahu akbar” dengan mengacungkan tangan agar ia merasa jadi bagian dari teriakan massa yang ada di belakangnya. Begitu ia memasuki kawasan tempat kejadian perkara (TKP) tersebut, seorang aparatur kepolisian yang berusaha menahannya sudah tak mampu lagi menahannya yang terus bergerak maju. Dari video ber-resolusi rendah yang beredar, kita dapat mencoba melihat dengan seksama mimik wajah pelaku yang menunjukkan “tanda-tanda umum dari pelaku tindakan kekerasan terencana” (premeditated violence). Hal ini dtunjukkan pada gambar di bawah ini.


Tanda-tanda yang ditunjukkan oleh pelaku pada barisan depan dari insiden Cikeusik ini pada dasarnya juga ditunjukkan pada banyak pelaku kekerasan dan serangan fisik terencana di banyak tempat lain. Ekspresi ini merupakan bentuk emosi “amarah” yang memiliki level aktivasi tertentu dan secara umum berlaku universal pada semua manusia. Berikut dua gambar yang merupakan contoh yang baru-baru ini juga menggemparkan media massa.

 Wajah Massimo Tartaglia sesaat serangan fisiknya terhadap PM Italia Silvio Berlusconi 13 Desember 2009 pada sebuah kampanye politik (kiri) dan wajah Muntader Al-Zaidi (kanan) sesaat melempar sepatu pada George Bush (2008)

Sekarang coba kita bandingkan dengan ekspresi yang ditunjukkan ketika sudah mulai ada lemparan-lemparan batu balasan dari rumah warga Ahmadiyah yang diserang, pada dasarnya. Amarah yang muncul perlahan hilang dan di beberapa scene video muncul ekspresi yang menunjukkan rasa takut. Hal ini ditunjukkan pada gambar di bawah ini.



Apa yang ditunjukkan dari ekspresi takut ini? Ini merupakan bentuk determinasi yang tiba-tiba mengendur ketika perlawanan dari pihak yang diserangnya mulai menguat. Namun jika benar yang terasa pada saat itu adalah rasa takut, amarah yang muncul kemudian pada dasarnya akan makin kuat saja; katakanlah setelah rasa takut kemudian hilang dengan berhasilnya perusakan dilakukan terus.Turun dan naiknya level aktivasi emosional ini (variabel β dalam lanskap emosional) yang menjadikan level amarah dan tendensi merusak menjadi makin lebih kuat dalam dinamika yang terjadi di sebuah konflik fisik. Pada akhirnya, ada sebuah titik ketika kolektivitas amarah yang ada meningkat menjadi tak terbendung, yang menjelaskan  sadisme dan keberingasan yang mengerikan sebagaimana ditunjukkan pada scene-scene selanjutnya dari video tersebut.

Dari diskusi ini kita menunjukkan bahwa sebenarnya tindakan pencegahan dapat dilakukan oleh pihak keamanan yang bertugas sebelum terjadinya sebuah kekerasan yang terencana. Kepolisian dan intelijen di Amerika Serikat dikabarkan telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai ilmuwan ilmu-ilmu perilaku manusia (behavioral sciences) ini. Jika tanda-tanda ekspresi emosional ini dapat diakuisisi dengan baik, maka pelaku dapat segera dihentikan. Memang harus diakui bahwa kesalahan justifikasi mungkin saja dilakukan dalam observasi di lapangan, namun dengan latihan yang baik hal ini akan dapat mencegah jatuhnya korban yang lebih banyak lagi.