Monday, December 10, 2012

Rasa Malu Hati

Ketidaktenangan Bupati Aceng dalam talk show yang menyudutkan dirinya 2 Desember 2012
Emosi atau perasaan malu hati merupakan sebuah emosi yang unik. Ia sering dikaitkan dengan “rasa penyesalan”, “rasa bersalah” dan “perasaan dicemooh”. Ekspresi dari kedua emosi yang dinyatakan sebagai “perasaan malu” ini memiliki karakteristik aktivasi otot-otot wajah yang mirip. Memperhatikan kontekstualisasi munculnya emosi rasa malu tersebut menjadi penting untuk bisa membedakan keduanya.

“Perasaan bersalah”  atau “penyesalan” terekspersikan sebagai “rasa malu” dikarenakan kesadaran telah bersalah terkait dengan “rasa sedih” oleh rasa penyesalan. Puncak ekspose dari emosi ini adalah “pengakuan” bahwa subyek telah melakukan kesalahan. Pengakuan oleh subyek akan membuatnya terlepas dari “rasa malu hati” tersebut [1]. Emosi “rasa malu hati” oleh karena “perasaan bersalah” ini bisa muncul saat seseorang teringat dengan kesalahan yang dilakukannya. Ia bisa dapat muncul sendiri, tatkala sedang terkenang.
              
Meski sama-sama memberikan ekspresi rasa malu, “perasaan dicemooh” agak berbeda, karena “perasaan dicemooh” atau “dikucilkan” hanya bisa terjadi oleh keberadaan orang lain yang di sekitar subyek emosional. Ada elemen ekspresif “rasa marah” di samping “rasa sedih” yang termunculkan. Puncak ekspose dari emosi “perasaan dicemooh” ini bukanlah “pengakuan”, justru ia akan terbebaskan jika ia berhasil lari dari kenyataan terkucilkan tersebut. Orang dalam posisi ekspose emosi ini akan penuh dengan penolakan, berusaha mengelak dari apa yang menyebabkan ia merasa dicemooh atau terkucilkan [3].

Yang jelas, kedua emosi ini merupakan bentuk emosi yang terkespresi sebagai hasil kesadaran akan suatu peristiwa. Ada proses kognitif yang sadar untuk bisa mengekspresikan rasa hati ini. Dalam lanskap emosi, perasaan malu hati tergolong emosi negatif dalam kuadran ketiga.

Adalah menarik untuk “membaca” dan mengeksplorasi ekspresi  “malu hati” yang ditunjukkan oleh Bupati Garut Aceng Fikri, saat yang bersangkutan seolah “dipermalukan” di depan publik oleh siaran langsung televisi nasional, dengan dipanel bersama aktivis perempuan dan perwakilan Kementerian Dalam Negeri yang seolah “menyerang” beserta beberapa penelepon pada petang hari itu (2 Desember 2012).

Sebagaimana diketahui, Bupati Aceng menikahi secara siri seorang perempuan berusia 18 tahun, dan lalu menceraikannya dalam waktu empat hari. Sebuah fenomena yang kemudian menggelinding menjadi berskala nasional oleh media sosial yang bergayung sambut dengan pemberitaan media siaran nasional. Dalam talkshow berdurasi setengah jam tersebut, Bupati Aceng diserang dari segala penjuru, dipersalahkan publik, jika bukan diadili oleh pers.

Ketidaknyamanan jelas ditunjukkan oleh gerak tubuh Bupati Aceng yang beberapa kali dengan mencolok membenarkan posisi duduknya, dan posisinya yang dalam 20 menit berubah menjadi bersandar di meja. Bahasa tubuh demikian menunjukkan perhatian yang serius atas hal yang diperbincangkan, dan dengan memperhatikan kepala yang tertunduk, terefleksikan rasa malu hati atas topik yang diperbincangkan.

Postur dan gerak tubuh membungkuk tak bisa menyembunyikan rasa malu hati dalam diskusi.

Rasa malu hati senantiasa ditunjukkan sebagai ekspresi perasaan “kecil”, postur tubuh yang memakan energi yang minimum. Kepala yang ditundukkan memberikan postur tubuh yang seolah “mengecil”, sebuah ekspresi gerak tubuh yang melindungi daerah-daerah dengan organ tubuh yang rentan, seperti leher, perut, dan dada. Ini merupakan ekspresi gerak tubuh yang berlawanan dengan posisi tubuh saat bersombong, di mana secara evolusioner, badan cenderung dibusungkan untuk menunjukkan postur yang besar untuk menakuti lawan.
 
Hal ini sebenarnya juga ditunjukkan dalam kumpulan manusia saat berhadapan dengan pihak yang status sosialnya lebih tinggi, tubuh cenderung membungkuk.
 
Rasa malu hati juga ditunjukkan dengan gerakan tangan saat berbicara (ilustrator) yang menunjukkan gerakan seperti menutupi wajah. Ekspresi menutupi wajah saat posisi kepala condong menengadah menunjukkan rasa malu hati atas topik yang sedang diperbincangkan.
 
Gerakan satu atau dua tangan yang terlihat "berusaha" menutup wajah.

Namun rasa malu hati yang ditampilkan oleh gerak tubuh dari Bupati Aceng sepertinya bukanlah rasa malu hati yang disebabkan oleh perasaan menyesal atau rasa bersalah telah melakukan sesuatu. Ekspresi “marah” sesekali muncul sebagai ekspresi-mikro saat ia berusaha menjelaskan duduk perkara persoalan dalam perspektif dirinya di akhir talkshow.
 

Ekspresi-mikro yang menunjukkan rasa amarah yang berusaha diredam.

Rasa marah ditandai dengan ekspresi mikro pada wajah (hanya terlihat beberapa milidetik) dengan kening yang mengernyit dan rahang yang bergerak maju [2]. Hal ini dikonfirmasi dengan memberatnya suara yang terdengar agak bergetar dengan volume yang lebih keras dan nada yang meninggi dari biasanya. Eksplorasi emosional rasa malu hati yang memuncak dengan keinginannya terbebas dari keterkungkungan tercemooh dan terkucil.

Lebih jauh, ekspresi marah dari subyek tak bisa disembunyikan lagi. Ketika di bagian akhir talkshow ia terlihat mengusap-usap tangannya dalam berbagai pose diserta beberapa kali terlihat memberikan tekanan pada meja tempat ia duduk. Sebagaimana kita ketahui, biologi evolusioner menunjukkan bagaimana ekspresi amarah (pada manusia) mempercepat laju darah ke daerah alat gerak atas (tangan dan lengan) sehingga suhunya menjadi lebih panas dan memberikan kecenderungan untuk digerakkan (umumnya tanpa sadar) agar rasa panasnya hilang. Hal ini berlawanan dengan ketika kita merasa takut, maka alat gerak bawah (kaki) yang cenderung terasa panas, dan justru tangan terasa lebih dingin.

Gerak tangan yang "tidak tenang" dari subyek dalam bagian-bagian akhir diskusi.

Ekspresi rasa marah ini ditambah lagi dalam pilihan kata Bupati Aceng untuk kata ganti orang ketiga, perempuan yang dinikahinya, dengan pilihan kata yang memberi “jarak” kepada Fani Oktarina.  Selama setengah jam perbincangan, sekalipun ia tidak pernah menyebut nama Fani. Ia menyebut Fani sebagai “…yang bersangkutan”.

Terlepas dari kasus yang terjadi dan subyektivitas etis kita atas pihak-pihak yang saling berseteru, kita dapat mempelajari pola kasuistik rasa malu yang unik dalam fenomena yang disiarkan secara nasional ini. Rasa malu hati merupakan sebuah rasa hati (emosi) yang penting dalam evolusi manusia [4]. Dan sebagaimana kita lihat dalam kasus ini, rasa malu hati merupakan emosi yang kompleks. Ia bisa berasal dari rasa malu oleh karena “rasa bersalah”, namun bisa pula oleh “rasa dicemooh” atau “dikucilkan”. Keduanya termanifestasi dengan sangat berbeda dalam perilaku kemudian, setelah rasa malu hati tersebut ter-ekspresikan.

Beberapa ekspresi perasaan malu hati beberapa tokoh dunia.


Pustaka:
  1. Widen, S. C., Christy, A. M., Hewett, K., & Russel, J. (2011). “Do proposed facial expressions of contempt, shame, embarrassment, and compassion communicate the predicted emotion?”. Cognition and Emotion 25 (5): 898-906.
  2. Ekman, P., & Friesen, W. V. (1978). Facial action coding systems. Consulting Psychologists Press.
  3. Ekman, P. (1985). Telling Lies: Clues to Deceit in the Marketplace, Politics, and Marriage. W. W. Norton.
  4. Haidt, J., & Keltner, D. (1999). “Culture and facial expression: Open-ended methods find more expressions and a gradient of recognition”. Cognition and Emotion 13: 225-66.