Thursday, February 3, 2011

Tak Sudi dibohongi Detektor Kebohongan!



Seberapa akuratkah mesin pendeteksi kebohongan? Tekanan darah, deru dan volume nafas, merupakan dua hal yang diukur dalam tes kebohongan konvensional dengan mengganakan poli-graf. Interpretasi bohong dilihat dengan detak jantung dan deru nafas yang dinilai “tak wajar”. Konon, jika seseorang berbohong, nafas menjadi tak teratur, demikian pula denyut nadi darah. Namun kenyataannya desah nafas dan denyut nadi yang sekonyong-konyong lebih sering terjadi karena orang grogi, tak tenang. Sialnya, sering kali, baik orang jujur maupun bohong, mengalami perubahan sekonyong-konyong tersebut ketika harus menjalani tes kebohongan poligraf. PIranti yang digunakan untuk mengukur tekanan darah dan nafas seringkali sudah membikin obyek grogi duluan. Alat deteksi bohong terlalu sering salah ukur!


Adakah mekanisme deteksi kebohongan alternatif? Negeri yang kaya dengan pengaruh begitu beragamnya etnisitas seperti Indonesia,sarat dengan mistisisme  dan mengenal toolbox anti kebohongan bernama “sumpah pocong”. Sumpah pocong merupakan sebuah tradisi sumpah yang diucapkan oleh seseorang dalam keadaan berbalut kain kafan (pocong) sedemikian sehingga ada konsekuensi-konsekuensi seseorang mendapat laknat dari Yang Maha Kuasa jika seseorang berbohong atas sumpah yang diucapkannya. Sumpah pocong disertai dengan berbagai mitologi dan spiritutalisme yang mendorong rasa takut luar biasa ketika melaksanakannya. Tidak ada konsekuensi langsung deteksi kebohongan sebenarnya dalam sebuah sumpah pocong, selain rasa takut yang eksesif jika kebohongan memang diucapkan. Efek fisiologisnya seringkali seperti halnya detektor kebohongan konvensional, emosi terguncang dan grogi (nervousness) baik jika seseorang berbohong atau tidak. Dampak “laknat” yang terjadi jika berbohong dalam sumpah pocong adalah murni efek kolektivitas dari kapasitas kognitif masyarakat setempat, dan belum ada kajian ilmiah yang dapat menge-cek validitasnya secara ilmiah. Atau memang tidak mungkin?


Berbagai riset psikologi evolusioner modern semenjak 1970-an telah menunjukkan adanya konvergensi bahwa emosi memiliki elemen biologis/fisiologis. Sebagai sebuah respon terhadap stimulus lingkungan, beberapa emosi dasar, ditunjukkan berlaku universal, tak bergantung pada latar belakang kultural. Emosi dasar seperti rasa takut, rasa marah, rasa senang, rasa sedih, rasa jijik, dan kaget adalah universal efek fisiologisnya pada respon motorik pada 43 otot yang menyusun wajah manusia. Ilmuwan psikologi evolusioner, seperti Paul Ekman, telah mendaftarkan SIstem Pengkodean Perilaku Wajah (facial action coding system) yang memetakan otot-otot apa saja yang aktif saat emosi tertentu di-ekspresikan. Ketika sebuah informasi diungkap, maka ekspresi emosi akan senantiasa tercermin di wajah seorang manusia, dan aktivasi otot-otot tertentu di wajahnya merupakan bawaan adapatasi dari sekian ratus tahun evolusi homo sapiens.

Ekspresi emosi memiliki 2 dimensi dasar: valensi, terkait seberapa positif atau negatif sebuah emosi (katakanlah α) dan intensitas ekspresi, yakni seberapa besar intensitas emosi tersebut ter-ekspresi (katakanlah β). Ekspresi emosi kita cenderung menjelajahi lanskap yang koordinatnya ditentukan atas dua variabel ini. Ekspresi marah punya nilai α dan β yang berbeda dengan jijik, misalnya. Saat valensi emosional itu netral  tapi sangat tinggi intensitasnya, yang muncul adalah ekspresi kaget, dan valensi yang netral dengan intensitas yang rendah ter-ekspresikan dalam nuansa fisiologis mengantuk, ingin sekali tidur.

Menyembunyikan ekspresi emosi merupakan sebuah praktik fisiologis yang mesti dilakukan ketika seseorang berbohong. Sialnya ekspresi emosi tersebut tak mungkin bisa disembunyikan. Kalaupun disembunyikan, selalu saja ada kebocoran ekspresif selama kurang dari 1 detik! Ini yang disebut sebagai ekspresi emosi mikro. Bahkan beberapa emosi, saat seseorang kaget, misalnya, hanya muncul secara natural < 0.5 detik. Jika ada ekspresi kaget yang lebih dari 1 detik, bisa dipastikan itu adalah bentuk kebohongan, kecuali jika seseorang tersebut menderita gangguan neuronal. Di abad ke-21 ini, beberapa dinas intelijen negara maju dicatat telah menggunakan capaian ilmu perilaku ini untuk mendeteksi kebohongan dalam proses interogasi.

Memetakan ekspresi emosional pada aktivasi otot-otot di wajah membantu produksi film animasi agar “lebih hidup” – alias membohongi penonton film agar seolah-seolah obyek animasi benar-benar “manusiawi”, namun lebih jauh lagi, membantu akuisisi ilmu perilaku (sains behavioral) dalam mendeteksi kebohongan. Lie detectors may lie, but your face always tells the truth