Friday, February 4, 2011

“Bercakap-cakap” dengan Seekor Kucing


Kaki, tangan, bahu, leher, kepala, dan ekspresi wajah manusia sering memberi pesan yang berbeda dengan apa yang dikomunikasikan secara verbal. Ketika ia berbeda, maka kebohongan pun tercipta. Pesan tubuh tersebut merupakan pesan kondisi perasaan hati sebagai respon tubuh individual terhadap stimulus yang ada. Lantas, bagaimana dengan hewan-hewan yang tak punya kapasitas kognitif untuk menyampaikan pesan verbal?


Konon, katanya nabi Sulaiman bisa bercakap-cakap dengan hewan-hewan. Mungkin yang dimaksud adalah kejelian dari nabi Sulaiman, seperti kejelian Charles Darwin, mengamati dan memahami emosi dari hewan-hewan yang ada di bawah observasinya.

Jelilah mengamati seekor kucing, niscaya kita juga bisa bercakap-cakap dengannya! Sama seperti keadaan emosi manusia, ekspresi emosi kucing juga memiliki 2 dimensi dasar: valensi, terkait seberapa positif atau negatif sebuah emosi (katakanlah α) dan intensitas ekspresi, yakni seberapa besar intensitas emosi tersebut ter-ekspresi (katakanlah β) juga seolah kontinu nilainya. Ekspresi emosi cenderung menjelajahi lanskap yang koordinatnya ditentukan atas dua variabel ini. Saat valensi emosional itu netral  tapi sangat tinggi intensitasnya, yang muncul adalah ekspresi kaget, dan valensi yang netral dengan intensitas yang rendah ter-ekspresikan dalam nuansa fisiologis mengantuk, ingin sekali tidur.

Gambar di bawah ini menampilkan lanskap emosional seekor kucing.


  1. Kucing yang senang, ekornya tegak, seperti tanda seru.
  2. Kucing yang sedang tertarik akan sesuatu hal menggoyang-goyangkan ekornya ke kiri dan ke kanan, dan telinganya menaik ke atas.
  3. Kucing yang ekornya melengkung ke atas membentuk tanda tanya, menunjukkan emosinya yang sedang senang, tapi agak kurang nyaman atau ia sedang waspada.
  4. Kucing yang sedang takut ekornya melengkung ke sisi kiri/kanan tubuhnya, dan badannya membungkuk. Perlu berhati-hati dengan kucing dalam seperti ini karena jika rasa takutnya meninggi, ia bisa menyerang.
  5. Kucing yang marah telinganya mendatar ke belakang, hidungnya dimonyongkan dan matanya membelalak tajam.
  6. Kucing yang terkejut, mulutnya membuka sedikit tapi tidak bersuara, matanya agak menutup dengan posisi cakar yang mencengkeram di mana ia berdiri.
  7. Jika ekor kucing melengkung ke bawah di antara dua kaki belakangnya, ia sedang bersedih.
  8. Kucing yang membuka mulut dan mengeong pelan menunjukkan keinginannya untuk makan.
  9. Kucing menutup mata dengan nafas teratur dan lambat tatkala ia mengantuk dan ingin sekali tidur.
  10. Kucing yang merasa memiliki kepuasan diri dan senang namun tak sedang ingin bermain-main dan diganggu menggolekkan diri dengan ekornya melingkari tubuhnya, tapi matanya tetap melihat obyek yang membuatnya merasa nyaman.
Tak seperti manusia, seekor kucing tidak mengedipkan mata demi membasahi permukaan matanya. Kucing menggunakan kedipan mata untuk berkomunikasi. Jadi jika melakukan eye-contact dengan seekor kucing, cobalah berkedip. Jika ia membalas kedipan anda, maka ia akan senang sekali, karena mengira anda sedang berkomunikasi dengannya. Mari mengamati kucing kita, dan belajar banyak darinya!

Kemampuan memahami emosi membantu kapasitas dan kemampuan komunikasi kita. Tubuh ini tak didesain untuk berbohong, tapi secara kultural, komunikasi verbal kita mengajari kita berbohong! o_O