Monday, February 7, 2011

Mengapa orang Berbohong?



Sebenarnya berbohong itu memakan energi pemrosesan otak! Berbagai penelitian terkait psikologi sosial menunjukkan bahwa sangat jarang kebohongan terjadi secara spontan. Selalu ada ke-terencana-an ketika seseorang mulai berbohong. Lebih jauh, sebenarnya hampir tak mungkin melatih seseorang untuk berbohong. Yang bisa dilakukan pada dasarnya adalah melatih seseorang agar pandai menghindar. Jika tak menjawab pertanyaan, seseorang tak merasa perlu berbohong, dan ini sangat mempermudah langgengnya sebuah kebohongan akan sebuah fakta.

Yang jelas seseorang berbohong dengan beberapa motif, antara lain:
1. untuk mendapatkan keuntungan yang lebih (atau tak mungkin didapat) dibandingkan saat ia jujur.
2. untuk menghindari sesuatu hal yang dapat mengancamnya tatkala ia jujur.

Untuk yang pertama, kondisi jujur hanya dapat dicapai melalui kesadaran bahwa seseorang yang dibohongi akan merasa tercurangi tatkala dibohongi. Seseorang yang mendapatkan keuntungan melalui kebohongan dapat memiliki kerugian yang sama (atau lebih) tatkala orang lain berbohong kepadanya. Di sisi lain, untuk yang kedua, keadaan jujur hanya akan dapat dicapai dengan menciptakan kesadaran bahwa seseorang cukup merasa "aman" tatkala ia jujur. Menggabungkan keduanya, kondisi jujur cenderung akan dapat dicapai dengan empati sosial yang kuat dan situasi yang nyaman bagi subyek yang berbohong.

Lantas, ada pula pertanyaan klasik tentang kebohongan. Apakah ada yang dinamakan "bohong putih" (white lies)? Pada dasarnya sebuah kebohongan tetaplah sebuah kebohongan, apapun warnanya dan motifnya. Yang jelas, secara etis, seseorang diperbolehkan berbohong jika dan hanya jika orang yang dibohongi tak merasa telah dibohongi ketika akhirnya ia mengetahui/menyadari bahwa ia telah dibohongi sebelumnya.

Sinyal yang diterima sistem koordinasi sensori masuk ke bagian otak bernama thalamus yang secara emosional "dialirkan" melalui organ kecil di bawah otak bernama amygdala untuk kemudian diteruskan ke saraf-saraf motorik yang menghasilkan ekspresi emosional. Namun ketika seseorang berbohong, sinyal dari thalamus juga diproses oleh pusat pemrosesan memori semantik, asosiatif, dan episodik di bagian otak kita, yakni cortex. Memori inilah yang menentukan apa yang kita percayai (belief). Di sini pengertian belief bukanlah kepercayaan dalam pengertian yang sempit, misalnya ikhwal keagamaan, namun hal-hal terkait kapasitas dan kedalaman pemahaman kita yang membentuk keyakinan tertentu. Pemrosesan sinyal stimulus yang tersampaikan di sistem saraf motorik yang langsung melalui amygdala terhitung lebih cepat daripada yang perlu pemrosesan sistem belief sehingga selalu ekspresi emosi cenderung senantiasa muncul, setidaknya sebentar dalam jeda waktu singkat ketika sinyal sensori tersebut diproses pada bagian otak.

Dari sini kita mengetahui bahwa secara fisiologis, ekspresi di wajah dan tubuh senantiasa mencerminkan pikiran dan kondisi emosional secara jujur, setidaknya beberapa mikro-detik sebelum akhirnya ia menutupi ekspresi tersebut saat berbohong. Hal lain yang sering digunakan untuk menandai kebohongan adalah suara yang meninggi, gerak dan fokus mata, gerak tangan (ilustrasi pembicaraan) yang jadi lebih banyak (atau lebih sedikit) dari biasanya. Intinya sebenarnya, untuk mengetahui apakah seseorang sedang berbohong atau tidak adalah dengan benar-benar mengenali secara kuat kondisi ekspresif tubuh, tangan, kaki, bahu, ekspresi wajah, hingga intonasi suara ketika "normal" alias tidak dalam keadaan berbohong. Begitu ada perubahan yang sangat drastis dalam hal ekspresi ini secara non-verbal bersamaan dengan komunikasi verbal dilakukan, maka kecurigaan bahwa obyek telah berbohong menjadi meninggi pula. Itulah sebabnya, dalam berbagai interogasi modern, yang diupayakan adalah agar obyek berbicara secara verbal. Berbagai konsep yang terucapkan secara verbal akan memiliki efek emosional tertentu dalam memorinya, secara asosiatif, yang akan muncul (meski sangat samar) pada ekspresi tubuhnya. Inkonsistensi pesan verbal dengan non-verbal, jelas adalah sebuah tanda kebohongan!

Yang jelas, kebohongan seringkali menyulitkan seorang individu sosial, bukan karena ia telah menyakiti orang lain yang dibohonginya, melainkan karena orang lain menjadi sulit untuk percaya kepadanya!