Wednesday, February 2, 2011

Rasionalitasmu bohong, emosimu jujur!


Ilmu sosial mengajarkan bahwa keputusan yang disandarkan pada rasionalitas itu sesederhana membuat fungsi utilitas. Fungsi utilitas memetakan keadaan-keadaan yang diperhatikan oleh seseorang dalam mengambil keputusan ke ganjaran yang diperolehnya. Manusia seyogianya selalu berupaya memaksimisasi ganjaran: ia memilih mana yang paling tinggi keuntungannya saat dihadapkan pada pilihan-pilihannya. Namun manusia tak hanya memilih yang “terbaik” baginya secara rasional. Emosi saat mengambil keputusan terkadang dominan, sehingga terkadang seseorang terlihat sangat tak rasional. Kita sering mendengar ocehan, “…cinta buta!”, karena perasaan cinta sering membuat fungsi utilitas tak diperhatikan sama sekali.


Lantas apa sebenarnya emosi itu? Jika rasionalitas merupakan sebuah entitas kognitif murni, maka emosi mungkin tak selalu ber-elemen kapasitas kognitif. Emosi itu harmoni antara yang kognitif-psikologis dan biologis. Suasana hati sering disebut sebagai respon alamiah atas lingkungan sekitar. Saat takut, tangan terasa lebih dingin, tapi kaki cenderung menghangat. Darah mengalir ke kaki, sebuah isyarat evolusioner bahwa rasa takut merangsang kita untuk berlari meninggalkan apa yang jadi sumber rasa takut. Berbeda dengan saat marah, tangan dan kepala terasa panas, sementara kaki terasa mendingin, karena rasa marah membuat kita cenderung untuk membela diri, menghilangkan sumber rasa marah: memukul atau menanduk (tapi homo sapiens sudah gak punya tanduk lagi).

Kapasitas kognitif membuat kita rasional untuk memilih (dan jika mungkin, memanipulasi) situasi agar keuntungan dapat dimaksimisasi. Tapi emosi cenderung lebih merupakan bagian sistem kognitif yang lebih rendah. Emosi member respon atas sesuatu secara fisiologis sebagai tanggapan atas stimulan ekternal  demi keselamatan jiwa dan seksualita kita. Semakin besar level stimulus eksternal yang ada, maka semakin besar pula level dari aktivasi sebuah ekspresi emosi. Seseorang yang bukan atlet lompat tinggi, bisa melompati tembok yang lebih tinggi saat dikejar-kejar anjing galak, daripada kondisi emosional yang netral. Kita bisa memanipulasi pilihan saat berfikir rasional, tapi agak sulit memanipulasi emosi saat sebuah stimulus eksternal menghadang.

Jika rasionalitas memiliki valensi untung dan rugi, maka emosionalitas memiliki valensi positif dan negatif. Ada ekspresi emosi yang positif (senang, riang, cinta, dan lain-lain) dan ada pula yang bervalensi negative (sedih, marah, jijik, dan lain-lain). Yang membedakan satu emosi dengan emosi lain yang ber-valensi sama adalah level aktivasi sebuah ekspresi emosional. Seseorang bisa senang, tapi saat aktivasinya lebih tinggi, ia bisa riang, terbahak-bahak, atau rileks karena puas. Seseorang bisa sedih, bisa pula marah saat level aktivasi emosi tersebut tinggi, atau justru mengantuk bosan saat levelnya lebih rendah lagi. Baik valensi (perasaan positif-negatif) maupun level aktivasinya (gairah atas emosi) tergantung pada respon psikologis (juga fisiologis) atas stimulan dari pihak luar kita.

Dari sini pemetaan emosi yang dimiliki manusia itu punya dua dimensi ini: valensi (katakanlah α) dan intensitas ekspresi (katakanlah β) juga seolah kontinu nilainya. Ekspresi emosi kita cenderung menjelajahi lanskap yang koordinatnya ditentukan atas dua variabel ini. Saat valensi emosional itu netral  tapi sangat tinggi intensitasnya, yang muncul adalah ekspresi kaget, dan valensi yang netral dengan intensitas yang rendah ter-ekspresikan dalam nuansa fisiologis mengantuk, ingin sekali tidur.

Jadi, rasa kaget bisa jadi adalah paduan antara “kekagetan” dengan “rasa senang”, dan amarah bisa jadi bentuk paduan antara “kekagetan” dengan “rasa sedih”. Kita sadar, bahwa emosi tak pernah datang secara tunggal. Emosi yang kita ekspresikan selalu berbentuk paduan antara emosi yang satu dengan yang lain. Psikolog evolusioner dan ilmuwan neurosains berupaya keras untuk mengetahui apa yang jadi emosi dasar, dan kemudian membikin berbagai formalisasi bagaimana kira-kira ekspresi emosional tatkala emosi-emosi dasar ini berpadu-padan.

Lanskap emosi manusia

Hebatnya, jika ada elemen-elemen fisiologis (biologis) dalam ekspresi emosi, maka sudah tentu ada elemen yang otomatis dan “jujur” dalam satu ekspresi emosi. Memahami ekspresi emosi atas suatu konsep tertentu pada dasarnya memahami apa yang dipercaya oleh orang tersebut!

Rasional boleh bohong, tapi emosi itu cenderung lebih “jujur”?!